komunikasi dan gaya kepemimpinan
KOMUNIKASI
DAN GAYA KEPEMIMPINAN
PENGERTIAN
Kepemimpinan (Ardana, 2008:89)
adalah salah satu topik perilaku organisasi lain yang sangat banyak mendapat
perhatian. Kepemimpinan merupakan intisari dari manajemen organisasi, sumber daya
pokok, dan titik sentral dari setiap aktivitas yang terjadi dalam suatu
organisasi. Ada beberapa definisi tentang kepemimpinan, yaitu:
1. Proses
mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam
situasi tertentu (Indriyo Gitosudarmo, 2000).
2. Proses
mempengaruhi perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku seperti yang
dikehendakinya (Nimran, 1999).
3. Kemampuan
untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju tercapainya tujuan-tujuan (Robbins dan
Coulter, 2004).
4. Proses
memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan pengaruh pribadi (Sukanto
Reksohadiprojo, 2002).
MAKNA DAN TUJUAN KEPEMIMPINAN
Tujuan kepemimpinan di sisi lain
adalah membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan dan meningkatkan
motivasi mereka. Jadi pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk
memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Pemimpin bertindak dengan cara-cara
yang memperlancar produktivitas, moral tinggi, respons yang energik, kecakapan
kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan,
kehadiran, dan kesinambungan dalam organisasi.
Kepemimpinan diwujudkan melalui gaya
kerja (operating style) atau cara bekerja sama dengan orang lain yang konsisten.
Melalui apa yang dikatakannya (bahasa) dan apa yang diperbuatnya (tindakan),
seseorang membantu orang-orang lainnya untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
Tanpa mempertimbangkan suatu cara pandang tertentu, beberapa pendekatan yang
berbeda, meliputi :
·
Mengendalikan atau mengarahkan orang
lain.
·
Memberi tantangan atau rangsangan kepada
orang lain
·
Menjelaskan atau memberi instruksi
kepada orang lain
·
Mendorong atau mendukung orang lain
·
Memohon atau membujuk orang lain
·
Melibatkan atau memberdayakan orang lain
·
Memberi ganjaran atau memperkuat orang
lain.
MODEL GAYA KEPEMIMPINAN
Pembicaraan mengenai model
kepemimpinan berawal dari adanya suatu kenyataan bahwa seseorang lebih menonjol
dibanding orang lain, seseorang lebih efektif dalam memimpin dibanding yang
lain. Demikian pula terdapat fenomena bahwa seorang pemimpin yang telah sukses
memimpin di tempat lain ternyata tidak begitu sukses memimpin di tempat dan
situasi yang berbeda. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas
kepemimpinan termasuk model kepemimpinan yang diterapkan sang pemimpin, juga
kesiapan dan kematangan bawahan dalam menjalankan arahan dan instruksi
pemimpin. Pendekatan Sifat
Penelitian
para ahli ilmu jiwa dalam menjelaskan fenomena bahwa hanya sedikit orang yang
mampu menjadi pemimpin dibanding sekian banyak yang menjadi pengikut,
mengantarkan pada anggapan bahwa pemimpin mempunyai beberapa ciri unggul yang
tidak dipunyai oleh para pengikutnya. Pengamatan awal menunjukkan bahwa
sebagian besar pemimpin mempunyai ciri-ciri fisik yang menonjol seperti ukuran
badan lebih tinggi dan besar, lebih cerdas, lebih extrovert, dan lebih percaya
diri. Karakteristik itulah yang mengantarkan seorang pemimpin untuk mau atau
dipaksa mau menerima tanggung jawab yang lebih besar yang merupakan satu dari
beberapa syarat menjadi pemimpin.
Koontz
(Wahjono, 2010:268) mengikhtisarkan ada 4 sifat utama yang berpengaruh terhadap
kesuksesan seorang pemimpin, yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan
keluasan hubungan sosia, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4)
sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan dari penelitian ini mengarahkan pada
premis bahwa pemimpin itu dilahirkan, namun kesimpulan ini segera mendapat
tantangan karena banyak realitas yang justru menjungkirbalikkan premis
tersebut.
Pendekatan Perilaku
Tidak
seperti premis dalam pendekatan sifat yang mengatakan bahwa pemimpin itu
dilahirkan, maka dalam pendekatan perilaku justru sebaliknya. Pendekatan
perilaku mengatakan bahwa pemimpin itu dibentuk dan diarahkan. Mengacu pada
hasil penelitian-penelitian pada pendekatan sifat, ternyata selain sifat-sifat
unggul yang dipunyai pemimpin masih ada yang lebih penting lagi, sehingga
keberhasilan pemimpin pada akhirnya tergantung pada tindakan-tindakan yang
diambil dan hasil-hasil yang dicapai. Oleh karena itu penelitian berikutnya
lebih menitik beratkan pada penelitian tentang perilaku seorang pemimpin pada
saat berhadapan dengan bawahannya, langsung maupun tidak langsung.
Titik
pusat dari serangkaian penelitian ini adalah gagasan tentang gaya kepemimpinan,
yaitu suatu pola perilaku berulang yang diperlihatkan oleh seorang pemimpin.
Penelitian perilaku pemimpin memeriksa gaya-gaya kepemimpinan alternatif,
dengan tujuan untuk menentukan gaya kepemimpinan mana yang berfungsi paling
baik. Pendekatan perilaku memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku
kepemimpinan, yaitu fungsi-fungsi, dan gaya-gaya kepemimpinan. Aspek pertama,
pendekatan perilaku kepemimpinan menekankan pada fungsi-fungsi yang dilakukan
oleh pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan efektif, seorang
pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu :
a. Fugsi-fungsi
yang berhubungan dengan tugas (task related) atau pemecahan masalah (problem
solving), mencakup pemberian saran penyelesaian, informasi atau pendapat.
b. Fungsi-fungsi
pemeliharaan kelompok (group maintenance) atau sosial, mencakup segala sesuatu
yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, persetujuan dengan kelompok
lain, mediasi atas perbedaan pendapat, dan sebagainya.
Pandangan
kedua tentang perilaku kepemimpinan memusatkan pada gaya pemimpin terhadap
bawahannya. Para peneliti telah mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yaitu :
a. Gaya
dengan orientasi tugas (task oriented). Pemimpin yang berorientasi tugas
mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup tanpa ada partisipasi untuk menjamin
bahwa tugas-tugas dilaksanakan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.
Pemimpin dengan gaya seperti ini lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan
ketimbang pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
b. Gaya
dengan orientasi karyawan (employee oriented).Pemimpin dengan gaya seperti ini
mencoba untuk lebih memotivasi bawahan ketimbang mengawasinya. Karyawan di
dorong untuk melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana persahabatan
serta hubungan-hubungan saling mempercayai dan menghormati.
Teori X dan Teori Y dari Douglas
McGregor
Gaya kepemimpinan seseorang
berdasarkan pada beberapa asumsi mengenai manusia dan apa yang memotivasi
mereka. McGregor (1967) menentukan dua perangkat asumsi atau pendapat bipolar
yang cenderung dipakai oleh para pemimpin mengenai orang lain. Kedua jenis
asumsi ini disebut Teori X dan Teori Y.
Mungkin kebanyakan pemimpin tidak berpegang penuh pada salah satu teori
McGregor tersebut, tapi pencirian yang dilakukan McGregor membantu kita
menggambarkan sikap mental suatu tipe ideal sehingga kita dapat memperoleh
gambaran yang jelas mengenai pemikiran seseorang, yang mungkin amat cenderung
mempunyai suatu arah tertentu.
-
Teori
X
Asumsi
teori X tampaknya diturunkan dari pendapat mengenai manusia sebagai suatu
mesin, yang amat memerlukan pengendalian dari luar. Asumsi teori X secara
ringkas sebagai berikut :
§ Kebanyakan
orang berpendapat bahwa pekerjaan adalah
sesuatu yang tidak menyenangkan dan berusaha menghindarinya.
§ Kebanyakan
orang lebih suka diperintah dan seringkali harus dipaksa untuk melakukan
pekerjaan mereka.
§ Kebanyakan
orang tidak ambisius, tidak ingin maju dan tidak menginginkan tanggung jawab.
§ Kebanyakan
orang dimotivasi terutama oleh keinginan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok
dan kebutuhan akan rasa aman.
§ Kebanyakan
orang harus dikendalikan dengan ketat dan tidak mampu menyelesaikan masalah
dalam organisasi.
Tampaknya
cukup beralasan untuk mengatakan bahwa seorang pemimpin yang berpegang pada Teori
X akan menganggap orang sebagai suatu alat produksi, dimotivasikan oleh
ketakutan akan hukuman atau oleh kebutuhannya akan uang dan rasa aman. Manajer
yang memandang pegawai dengan cara seperti ini, cenderung mengawasi mereka
dengan ketat, membuat dan menjalankan aturan dengan keras, dan menggunakan
ancaman hukuman sebagai alat untuk memotivasi mereka.
-
Teori
Y
Asumsi
Teori Y cenderung berasal dari pendapat mengenai manusia sebagai organisme
biologis yang tumbuh, berkembang, dan melakukan pengendalian terhadap diri
mereka sendiri. Asumsi Teori Y secara ringkas sebagai berikut.
§ Kebanyakan
orang berpendapat bahwa bekerja adalah sesuatu yang alamiah seperti bermain dan
istirahat. Bila pekerjaan tidak menyenangkan, mungkin itu karena cara melakukan
pekerjaan tersebut dalam organisasi.
§ Pengawasan
dan ancaman hukuman bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan pencapaian
tujuan. Orang akan mengendalikan diri untuk mencapai tujuannya.
§ Kebanyakan
orang dimotivasi terutama oleh keinginan mereka untuk diterima lingkungan,
mendapat pengakuan, dan merasa berprestasi, seperti juga oleh kebutuhan mereka
akan uang untuk memenuhi kebutuhan pokok dan rasa aman.
§ Kebanyakan
orang ingin menerima dan bahkan menginginkan suatu tanggung jawab bila mereka
memperoleh bimbingan, pengelolaan dan kepemimpinan yang tepat.
§ Ada
kapasitas besar untuk melakukan imajinasi, kecerdikan dan kreativitas dalam
penyelesaian masalah organsasi.
§ Potensi
intelektual rata-rata manusia hanya digunakan sebagian saja.
Pemimpin
yang mendasari tindakannya atau gayanya pada Teori Y beranggapan bahwa pegawai
mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam. Mereka percaya bahwa tugas mereka
adalah mengatur dan mengelola, sehingga baik organisasi maupun pegawai dapat
memenuhi kebutuhannya. Dalam teori Y, manajer berasumsi bahwa tujuan perorangan
dan tujuan organisasi dapat berjalan selaras. Namun, beberapa bukti menyatakan
bahwa kedua-duanya tidak dapat dicapai dalam konteks organisasi. Beberapa
tujuan pribadi dan beberapa tujuan organisasi mungkin bertentangan. Namun,
manajer yang menerima asumsi Teori Y, bekerja bersama-sama pegawai untuk
mencapai tujuan organisasi, mendorong pegawai untuk berperan serta dalam proses
pengambilan keputusan, dan mencoba mewujudkan peningkatan.
Penelitian Kepemimpinan Negara
Bagian Ohio
Sistem
yang paling umum digunakan untuk menjelaskan konsistensi dalam cara bekerja
bersama-sama dengan orang lain, berasal dari hasil penelitian Kepemimpinan
Negara Ohio dan penelitian Stoghill dan Coons (1957). Para peneliti di Ohio
State University mengidentifikasikan 2 kelompok perilaku yang mempengaruhi
efektivitas kepemimpinan, yaitu :
§ Struktur
Pemrakarsaan (initiating structure)
Menjelaskan
bahwa seseorang pemimpin itu mengatur dan menentukan pola organisasi, saluran
komunikasi, struktur peran dalam mencapai tujuan organisasi dan cara
pelaksanaannya.
§ Pertimbangan
(consideration)
Menggambarkan
hubungan yang hangat antara atasan dan bawahan, adanya saling percaya,
kekeluargaan dan penghargaan terhadap ide bawahan.
Teori Kisi Kepemimpinan
Salah satu teori gaya kepemimpinan
yang paling banyak didiskusikan adalah yang dikemukakan oleh Blake dan Mouton
(1964), yang semula disebut kisi manajerial (managerial grid), tapi kini
disebut kisi kepemimpinan (1991). Kisi ini berasal dari hal-hal yang mendasari
perhatian manajer. Perhatiannya pada tugas atau pada hal-hal yang telah
direncanakan untuk diselesaikan oleh organisasi, dan perhatian kepada
orang-orang dan unsur-unsur organisasi yang mempengaruhi mereka. Kisi ini
menggambarkan bagaimana perhatian pemimpin pada tugas dan manusia sehingga
menciptakan gaya pengelolaan dan kepemimpinan. Lima jenis gaya ekstrem yang
dikemukakan model kisi, yaitu :
§ Gaya
pengalah (impoverished style)
Gaya ini ditandai oleh
kurangnya perhatian terhadap produksi. Pemimpin yang lemah cenderung menerima
keputusan orang lain, menyetujui pendapat, sikap, dan gagasan-gagasan orang
lain, serta menghindari sikap memihak. Bila terjadi konflik, pemimpin jenis ini
tetap netral dan berdiri di luar masalah. Dengan tetap netral, pemimpin pengalah
jarang terlibat. Pemimpin pengalah hanya berusaha sedikit untuk mengatasi
keadaan.
§ Gaya
pemimpin pertengahan (middle of the road style)
Gaya ini ditandai oleh
perhatian yang seimbang terhadap produksi dan manusia. Pemimpin jenis ini
mencari cara-cara yang dapat berguna , meskipun mungkin tidak sempurna untuk
memecahkan masalah.
Bila ada pendapat,
gagasan, dan sikap yang berbeda dengan yang dianutnya, pemimpin gaya
pertengahan berusaha untuk jujur tetapi tegas dan mencari pemecahan yang tidak
memihak. Bila mendapat tekanan, pemimpin
gaya pertengahan mungkin saja menjadi bimbang dan mencari jalan untuk
menghindari ketegangan. Pemimpin seperti ini akan berusaha untuk mempertahankan
keadaan tetap baik.
§ Gaya
tim (team style)
Gaya ini ditandai oleh
perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia. Pemimpin tim amat menghargai
keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian dan kesepakatan
anggota organisasi. Pemimpin tim mempunyai keyakinan kuat mengenai apa-apa yang
harus dilakukan, tetapi memberi respons pada gagasan orang lain yang logis
dengan mengubah pendapatnya. Pemimpin jenis ini mempunyai rasa humor yang besar
meskipun mungkin ia sedang dalam keadaan tertekan, dan ia menunjukkan usaha
keras serta mengikutsertakan orang lain untuk ikut bergabung bersamanya.
Pemimpin tim mampu menunjukkan kebutuhan akan saling mempercayai dan saling
menghargai di antara sesama anggota tim, juga menghargai pekerjaan.
§ Gaya
Santai (country club style)
Gaya ini ditandai oleh
rendahnya perhatian terhadap tugas dan perhatian yang tinggi terhadap manusia.
Pemimpin jenis ini amat menghargai hubungan baik di antara sesama orang. Ia
lebih suka menerima pendapat, sikap, dan gagasan orang lain daripada memaksakan
kehendaknya. Pemimpin gaya santai selalu bersikap hangat dan ramah untuk
mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh adanya gangguan. Pemimpin seperti
ini lebih banyak bersikap menolong daripada memimpin.
§ Gaya
kerja (task style)
Gaya ini ditandai oleh perhatian
yang tinggi terhadap pelaksanaan kerja tetapi amat kurang memperhatikan
manusianya. Pemimpin gaya kerja adalah orang yang perhatian utamanya adalah
melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan secara efisien. Pemimpin jenis ini
cenderung untuk mempertahankan gagasannya, pendapatnya, serta sikapnya meskipun
kadang-kadang ini dihasilkan dengan cara menekan orang lain. Bila timbul
konflik, pemimpin jenis ini cenderung menghentikannya atau memenangkan
posisinya dengan cara membela diri, berkeras pada pendiriannya atau mengulangi
konflik dengan sejumlah argumentasi baru. Bila sesuatu tidak berjalan dengan
seharusnya, pemimpin gaya kerja akan memacu dirinya juga orang lain supaya
semuanya kembali berjalan dengan baik.
Menurut
Blake dan Mouton (Pace, 2010:282), gaya tim (team style) merupakan gaya
kepemimpinan yang paling disukai. Kepemimpinan gaya tim berdasarkan pada
integrasi efektif dari dua kepentingan, yaitu pekerjaan dan manusia. Pada
umumnya, kepemimpinan gaya tim berasumsi bahwa orang akan menghasilkan sesuatu
yang terbaik bila mereka memperoleh kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang
berarti.
Teori 3-D
Reddin (1967) membuat teori
berdasarkan pada kisi tugas manusia yang dikemukakan Blake dan Mouton dengan
menambahkan dimensi ketiga, yaitu efektivitas. Ketiga dimensi itu didefinisikan
sebagai berikut :
-
Orientasi kerja
Tingkat
pengarahan manajer atas usaha bawahan untuk mencapai tujuan.
-
Orientasi hubungan
Tingkat
hubungan pribadi antara manajer dengan bawahan, ditandai oleh adanya saling
mempercayai perasaan bawahan.
-
Keefektifan
Tingkat
persyaratan produksi yang dicapai manajer yang telah ditetapkan.
Kisi
3-D menghasilkan delapan gaya manajer atau kepemimpinan. Empat gaya termasuk
kurang efektif dan empat gaya lainnya dinilai lebih efektif.
Lebih
Efektif
§ Eksekutif
Tugas berat, hubungan
kuat, muncul sebagai motivator yang baik, yang memperlakukan setiap orang
dengan cara tersendiri dan lebih suka melakukan manajemen tim.
§ Otokrat
Lunak (Benevolent Autocrat)
Tugas berat, hubungan
lemah, tampaknya mengetahui apa yang diinginkan dan tahu cara memperolehnya
tanpa menimbulkan ketidaksenangan.
§ Pengembang
(Developer)
Tugas ringan, hubungan
kuat, tampaknya mempercayai orang lain secara terselubung dan menaruh perhatian
utama pada pengembangan hubungan yang selaras.
§ Birokrat
Tugas ringan, hubungan lemah,
tampaknya menaruh perhatian pada aturan-aturan dan prosedur demi kepentingan
mereka sendiri, dan karena ingin menjaga serta mengawasi situasi dengan
menggunakan aturan dan prosedur itu, mereka sering terlihat amat berhati-hati.
Teori Kepemimpinan Situasional
Pendekatan
kepemimpinan yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth H.Blanchard
(Wahjono, 2010:285) menguraikan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif
tergantung kesesuaian antara beberapa faktor berikut:
Ø Perilaku tugas,
adalah kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan menetapkan peran bawahan,
menjelaskan kegiatan setiap anggota, kapan, dimana, dan bagaimana cara
menyelesaikannya. Dimensi perilaku tugas dan indikator perilaku mencakup
penyusunan tujuan, pengorganisasian, penetapan batas waktu, pengarahan, dan pengendalian.
Ø Perilaku hubungan,
adalah kadar upaya pemimpin dalam membina hubungan pribadi di antara para
pemimpin dan bawahan dengan membuka saluran komunikasi, menyediakan dukungan
sosioemosional dan kemudahan perilaku. Dimensi perilaku dan indikator perilaku
meliputi memberikan dukungan, mengkomunikasikan, memudahkan interaksi, aktif
mendengarkan, dan memberikan umpan balik.
Ø Kematangan bawahan, adalah
kemampuan atau kemauan individu untuk memikul tanggung jawab sehingga dapat
mengarahkan perilaku bawahan. Kematangan bawahan terdiri dari dua dimensi,
yaitu (a) matang karena mampu dalam arti mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan
keterampilan individual dalam melaksanakan tugas, (b) matang karena mau untuk
melakukan suatu pekerjaan karena adanya rasa yakin, dan termotivasi.
Untuk
menentukan kematangan bawahan, Hersey dan Blanchard, menggunakan tiga komponen,
yaitu :
§ Kemampuan
untuk menyusun tujuan yang tinggi tetapi masih terjangkau, lebih menekankan
prestasi individual dibanding imbalannya, memperhatikan umpan balik atas
pelaksanaan tugas.
§ Bertanggung
jawab
§ Berpendidikan
dan berpengalaman.
Kombinasi
perilaku tugas dan perilaku hubungan menghasilkan empat (4) gaya, yaitu :
Gaya 1: Memberitahu (telling).
Tugas berat, hubungan lemah. Gaya ini ditandai oleh komunikasi satu-arah. Di
sini pemimpin menentukan peranan anak buah dan memberitahu apa, di mana, kapan,
dan bagaimana cara mengerjakan berbagai macam tugas.
Gaya 2: Mempromosikan (selling).
Tugas berat, hubungan kuat. Gaya ini ditandai oleh usaha melalui komunikasi
dua-arah, meskipun hampir semua pengaturan dilakukan oleh pemimpin. Pemimpin
juga menyediakan dukungan sosioemosional supaya bawahan turut bertanggung jawab
dalam pengambilan keputusan.
Gaya 3: Berpartisipasi
(Participating). Hubungan kuat, tugas berat. Gaya ini
ditandai oleh pemimpin dan bawahan bersama-sama terlibat dalam pembuatan
keputusan melalui komunikasi dua arah yang sebenarnya. Pemimpin lebih banyak
terlibat dalam pemberian kemudahan karena bawahannya memiliki kemampuan dan
pengetahuan untuk menyelesaikan tugasnya.
Gaya 4: Mewakilkan (Delegating).
Hubungan lemah, tugas ringan. Gaya ini ditandai oleh pemimpin yang membiarkan
bawahannya bertanggung jawab atas keputusan-keputusan mereka. Pemimpin
mewakilkan keputusan kepada bawahannya karena mereka mempunyai tingkat kesiapan
yang tinggi, bersedia serta mampu bertanggung jawab untuk mengatur perilaku
mereka sendiri.
Berlawanan dengan teori Blake dan
Mouton dan teori Reddin, tampaknya Hersey dan Blanchard beranggapan bahwa tugas
ringan dan hubungan lemah amat disukai bila bawahannya memiliki tingkat
kesiapan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa bagi orang yang memiliki
kesiapan yang relavan dengan tugas berat, gaya 4 kepemimpinan ini mempunyai
peluang yang paling besar untuk berhasil baik.
Kematangan (maturity) menurut Hersey
(Wahjono, 2010:289) mencerminkan kemampuan dan kemauan dari orang-orang untuk
bertanggung jawab dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Model kepemimpinan
situasional ini menarik perhatian karena merekomendasikan tipe kepemimpinan
dinamis dan fleksibel. Jadi efektivitas kepemimpinan dipengaruhi oleh
kematangan bawahan jika terjadi kesesuaian antara gaya kepemimpinan yang
dipraktikkan pemimpin dengan kondisi kematangan karyawan. Bila terjadi ketidak
sesuaian maka pemimpin harus merubah gayanya dan menyesuaikan dengan gaya yang
cocok dengan kematangan bawahan.
Teori Empat Sistem
Salah satu teori gaya manajerial dan
kepemimpinan yang paling sering diperbincangkan adalah teori yang dikemukakan
Likert (1967). Likert menemukan empat gaya atau sistem manajerial yang
berdasarkan pada suatu analisis atas delapan variabel manajerial, yaitu: (1)
kepemimpinan, (2) motivasi, (3) komunikasi, (4) interaksi, (5) pengambilan
keputusan, (6) penentuan tujuan , (7) pengendalian dan (8) kinerja. Likert
membagi gaya manajerial tersebut sebagai berikut :
Sistem 1 : Penguasa mutlak.
Gaya ini berdasarkan pada asumsi Teori X McGregor. Manajer/pemimpin memberi
bimbingan sepenuhnya dan pengawasan ketat pada pegawai dengan anggapan bahwa
cara terbaik untuk memotivasi pegawai adalah dengan memberi rasa takut,
ancaman, dan hukuman. Interaksi atasan bawahan amat sedikit, semua keputusan
berasal dari atas dan komunikasi ke bawah semata-mata berisi instruksi dan
perintah.
Sistem 2 : Penguasa semi-mutlak.
Gaya ini pada dasarnya bersifat otoritarian, tetapi mendorong komunikasi ke
atas untuk ikut berpendapat maupun mengemukakan keluhan bawahan, namun
interaksi di antara tingkatan-tingkatan dalam organisasi dilakukan melalui
jalur resmi. Komunikasi yang terjadi jarang bersifat bebas dan terus terang.
Sistem 3: Penasihat.
Gaya ini melibatkan interaksi yang cukup sering pada tingkat pribadi sampai
tingkat moderat, antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Informasi berjalan
baik ke atas maupun ke bawah, tetapi dengan sedikit penekanan pada
gagasan-gagasan yang berasal dari atas. Manajer menaruh kepercayaan besar,
meskipun tidak mutlak, dan keyakinan kepada pegawai.
Sistem 4: Pengejak-serta.
Gaya ini amat sportif, dengan tujuan agar organisasi berjalan baik melalui
partisipasi nyata pegawai. Informasi berjalan ke segala arah, dan pengendalian
dijalankan di setiap tingkatan. Orang berkomunikasi dengan bebas, terbuka, dan
berterus terang, hampir tanpa rasa takut terhadap hukuman. Gaya ini serupa
dengan gaya tim pada kisi Blake dan Mouton.
Hal
pokok dalam teori sistem Likert adalah pengambilan keputusan. Penelitian Likert
menunjukkan bahwa kebanyakan organisasi lebih menyukai Sistem empat, tetapi
sayang, kenyataannya mereka banyak menggunakan Sistem satu.
Teori Kontinum
Robert
Tennenbaum dan Warren H.Schmidt termasuk ahli teori manajemen pertama yang
menguraikan berbagai faktor yang dipikirkan mempengaruhi pilihan manajer akan
gaya kepemimpinan (Wahjono, 2010:274). Walaupun mereka secara pribadi menyukai
gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan, mereka menyarankan bahwa
seorang manajer harus memperhatikan tiga macam “kekuatan” sebelum memilih gaya
kepemimpinan, yaitu:
1. Kekuatan
yang ada di tangan manajer, yang mencakup :
a. Sistem
nilai baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak
b. Kepercayaan
terhadap bawahan
c. Kecenderungan
kepemimpinan sendiri, dan
d. Perasaan
aman dan tidak aman.
2. Kekuatan
yang ada di tangan karyawan, meliputi :
a. Kebutuhan
karyawan akan kebebasan,
b. Kebutuhan
karyawan akan peningkatan tanggung jawab,
c. Ketertarikan
karyawan dalam penanganan masalah
d. Harapan
karyawan mengenai keterlibatan dalam pembuatan keputusan.
3. Kekuatan
dalam situasi, mencakup :
a. Tipe
organisasi,
b. Efektifitas
kelompok,
c. Desakan
waktu,
d. Sifat
masalah itu sendiri.
Konsep
Tannenbaum dan Schmidt disajikan sebagai suatu rangkaian kesatuan kepemimpinan
(leadership continuum). Menurut mereka, seorang manajer dapat memberikan
partisipasi dan kebebasan yang lebih besar kalau karyawan meminta kemandirian
dan kebebasan bertindak, ingin memperoleh tanggung jawab dalam membuat
keputusan dan mendukung tujuan organisasi.
Mereka
mengharapkan manajemen patisipatif. Kalu persyaratan ini tidak terpenuhi, maka
manajer mula-mula harus mengandalkan gaya yang lebih otoriter. Mereka dapat
memodifikasi tingkah laku kepemimpinan setelah karyawan merasa percaya diri,
lebih terampil, dan memberikan komitmen kepada organisasi.
Teori Kebergantungan
Fisher
(1967) mengembangkan teori gaya kepemimpinan berdasarkan pada konsep
kebergantungan. Menurut teori kebergantungan (Pace, 2010:289), keefektifan
pemimpin bergantung pada hubungan-hubungan dalam gaya kepemimpinannya, juga
situasi tertentu yang dihadapinya. Karakteristik suatu situasi kepemimpinan
yang paling penting adalah relasi
pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuasaan jabatan pemimpin. Efektivitas
pemimpin ditentukan oleh kesesuaian antara gaya kepemimpinan (tugas atau
hubungan) dengan keharmonisan situasinya. Situasi terbaik adalah bila relasi pemimpin-anggota
baik, tugas terstruktur rapi, dan pemimpin mempunyai kekuasaan yang besar.
Situasi yang paling tidak baik adalah bila relasi pemimpin-anggota buruk, tugas
tidak terstruktur, dan kekuasaan pemimpin lemah.
Penelitian
pada model kebergantungan menunjukkan bahwa: (1) Pemimpin bermotivasi-tugas
lebih efektif dalam situasi yang amat harmonis dan dalam situasi yang amat
tidak harmonis, (2) Pemimpin bermotivasi-hubungan lebih efektif dalam situasi
yang cukup harmonis. Beberapa alasan yang menyebabkan gaya kepemimpinan
tertentu terlihat lebih efektif dalam beberapa situasi yang berbeda, dapat
diterangkan dengan cara memperhatikan persyaratan terjadinya situasi yang
harmonis maupun yang tidak harmonis.
Dalam
situasi yang harmonis, anda menjadi pemimpin yang disukai, pemberian tugas
jelas, kekuasaaan besar. Dalam kondisi seperti ini, jelas semua yang anda
perlukan sudah tersedia. Jadi anda harus mampu membangkitkan kewibawaan dan
pengaruh anda pada anggota. Sebaliknya, bila anda seorang pemimpin yang tidak
disukai, pemberian tugas serba samar dan kekuasaan lemah, maka jelas pengaruh
anda pada anggota juga berkurang. Dalam keadaan seperti ini, anda harus
memusatkan perhatian pada pekerjaan dan mengarahkan anggota tim dengan
mempergunakan pengaruh anda sebagai pemimpin yang memiliki kewenangan untuk hal
tersebut. Jadi, dalam situasi yang harmonis maupun yang tidak harmonis,
pemimpin bermotivasi-tugas mempunyai kemungkinan besar untuk sukses. Pemimpin
bermotivasi-hubungan cenderung muncul
paling efektif dalam situasi yang cukup harmonis. Bila situasi
menyenangkan, anggota tidak memerlukan pengawasan yang ketat. Pekerjaan dapat
diselesaikan oleh bawahan hanya dengan sedikit pengarahan, tetapi mereka
memerlukan dorongan, dukungan, dan kepercayaan. Semua ini dapat diperoleh dari
pemimpin bermotivasi-hubungan.
KESIMPULAN
Kepemimpinan itu merupakan intisari
dari manajemen organisasi, sumber daya pokok, dan titik sentral dari setiap
aktivitas yang terjadi dalam suatu organisasi. Kepemimpinan bertujuan untuk
membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan, dan meningkatkan
motivasi bawahan. Jadi pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk
memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Seorang pemimpin berperan sebagai
seorang pemberi arah, seorang agen perubahan, seorang pembicara dan seorang
pembina tim.
Ada banyak teori dan penelitian yang dilakukan
oleh para ahli untuk menegaskan kepemimpinan seperti apa yang efektif seperti
penelitian kepemimpinan negara bagian Ohio, teori kisi kepemimpinan, teori 3-D,
teori kepemimpinan situasional, teori empat sistem, teori kontinum dan teori
kebergantungan. Dari beberapa teori dan
penelitian menyatakan bahwa pemimpin harus memperhatikan pencapaian tujuan
produksi dan memberi tanggapan atas kebutuhan pribadi anggotanya. Teori lainnya
menerangkan bahwa pemimpin harus memperhatikan pemenuhan tugas dan
mempertahankan hubungan, tetapi mereka juga harus memperhatikan atau
mempertimbangkan kematangan bawahan. Lalu, teori lainnya merasa bahwa pemimpin
harus lebih memperhatikan pengendalian atas keputusan dan apakah pengendalian
harus dipikul bersama atau dipegang oleh pemimpin saja, dan dalam kondisi
bagaimana.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardana, Komang, Ni
Wayan Mujiati, dan Anak Agung Ayu Sriathi. 2008. Perilaku Keorganisasian. Graha
Ilmu. Yokyakarta.
Wahyono, Sentot Imam.
2010. Perilaku Organisasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Pace, R.Wayne, Don
F.Faules. 2010. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja
Perusahaan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Komentar
Posting Komentar